Salah kaprah menyikapi Alquran




Salah satu peristiwa pada Ramadan adalah diturunkannya Alquran. Di dalam surat Al-Baqarah:185 disebutkan bahwa Alquran diturunkan Allah SWT pada bulan Ramadan. Dalam ayat lain Alquran diturunkan pada malam kemuliaan (Lailatulkadar) dan pada malam yang diberkati (Lailatul Mubarokah).

Bagi umat Islam, Alquran tentu merupakan sesuatu yang sangat sakral (suci) sekaligus agung. Kesucian dan keagungan Alquran didasarkan pada kenyataan bahwa ia merupakan firman Allah (kalamulah), Tuhan Pencipta manusia dan seluruh alam ini. Kesuciannya sekaligus juga merupakan menjadi sumber hukum dan pedoman setiap umat manusia yang ingin selamat, bahagia dunia dan akhirat. Pendek kata Alquran adalah sebagai penyelesaian berbagai problem manusia.

Namun alih-alih menjadi sumber hukum dan pedoman hidup, Alquran dalam implementasinya hanya sekadar disimpan di rak-rak buku tanpa pernah dibaca, dikaji isinya, apalagi diamalkan dalam kehidupan. Masyarakat lebih tertarik dan bersemangat untuk membaca koran atau rajin menonton TV, misalnya, ketimbang membaca Alquran. Kalaupun dibaca, biasanya sekadar pada Ramadan. Karena jarang dibaca, otomatis Alquran jarang dikaji isinya. Karena jarang dikaji, kitab tersebut jarang diamalkan isinya. Lalu bagaimana problem kehidupan akan diselesaikan jika Alquran tidak dimengerti, dipahami dan diamalkan?

Di kalangan intelektual muslim, kita juga menyaksikan bagaimana Alquran diperlakukan secara ”semena-mena”, sesekali dikritisi, bahkan tak jarang digugat meskipun tentu tidak secara terang-terangan alias dibungkus dengan berbagai istilah dan jargon, seperti reaktualisasi ataupun reinterpretasi Alquran. Munculnya sikap kritis terhadap Alquran tidak lain karena didasarkan pada praanggapan bahwa Alquran meskipun dipandang suci, hakikatnya adalah kumpulan teks, yang sama dengan teks-teks lain.

Nashr Hamid Abu Zayd, misalnya, dalam Mafhûm an-Nash; Dirâsât fî ‘Ulûm al-Qur’ân, secara tegas menyatakan bahwa peradaban Arab Islam adalah peradaban teks. Artinya, perlu adanya penakwilan dan penafsiran ulang terhadap teks-teks keagamaan untuk menyemangati nilai-nilai kemanusiaan. Sebab, yang berkembang selama ini hanya penafsiran yang mengunggulkan aspek transendensi dan sakralitas, tetapi mengesampingkan aspek sosio-historis yang menyapa realitas kemanusiaan dengan santun dan elegan.

Hal yang sama dilakukan oleh Taufik Adnan Kamal, yang pernah menulis artikel dengan judul Alquran Edisi Kritis, meskipun yang dipersoalkan bukan ”isinya”, tetapi lebih pada aspek penulisan Alquran, di samping juga aspek historisitasnya. Ia, misalnya, menganggap sejarah pengumpulan Alquran lebih banyak mitosnya ketimbang sebagai sebuah realitas, demikian juga berkaitan dengan stabilitas teks Alquran (Taufik Adnan Kamal, Islamlib.com, 25/11/2001).

Sebagai contoh, menurut mereka, ketika Islam menyatakan, bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi wanita, itu hanya cocok untuk komunitas Arab yang dulu kaum perempuannya memang sangat bergantung pada laki-laki. Jilbab juga demikian, hanya pas diterapkan atas masyarakat yang tingkat penghargaannya kepada perempuan masih sangat rendah sebagaimana halnya masyarakat Arab dulu. Demikian seterusnya.

Di kalangan mereka, juga ada yang menyatakan, bahwa Alquran merupakan kitab suci yang terbuka bagi siapa pun yang ingin menginterpretasikannya. Bahwa Alquran sekarang tidak lagi dilihat sebagai sesuatu yang bisa diterima begitu saja, karena itu memang belum final, tidak pernah final, dan mungkin tidak perlu final. Oleh karena itu, masyarakat harus dibebaskan untuk menafsirkannya. Prinsip inilah yang sebenarnya mendasari anggapan, bahwa Alquran harus direkonstruksi secara terus-menerus berdasarkan rasionalitas manusia agar bisa terus mengikuti perubahan zaman.

Sementara itu, dalam tataran implementasi dan praktis, banyak sikap miring terhadap kelayakan Alquran sebagai sumber legislasi jika secara legal formal diterapkan, baik yang sangat meragukan atau bahkan menolak sama sekali maupun yang setengah hati menerimanya. Pihak yang sangat meragukan atau bahkan menolak sama sekali, misalnya, berpendapat bahwa pemberlakuan hukum-hukum Alquran (syariat Islam) akan mengancam kebebasan atau HAM golongan tertentu, menghambat pluralitas, tidak relevan dengan konteks kekinian dan banyak klaim lainnya yang intinya adalah ekspresi ketidaksetujuan.
Belajar dari sahabat

Perbuatan sahabat mencerminkan keimanan utuh terhadap Alquran. Mereka betul-betul mengimplementasikan keimanan ini dalam kehidupan. Sejarah banyak mencatat hal ini.
Pertama, membaca, menghafal, dan mengamalkan Alquran. Para sahabat saling berlomba dalam membaca dan mempelajari Alquran. Segala kemampuannya mereka curahkan untuk menguasai dan menghafalnya.

Kedua, sikap ketaatan sami‘nâ wa athâ‘nâ (kami mendengar dan kami taat). Para sahabat betul-betul menjadikan Alquran sebagai pegangan hidup. Begitu perintah atau larangan turun segera mereka melaksanakannya tanpa perlu lagi banyak berpikir.
Dari sini muncullah sosok-sosok yang mulia dan agung dengan karakter yang mengalami perubahan sebelum dan sesudah bersentuhan dengan Alquran. Sosok inilah yang dicatat oleh sejarah sebagai pencipta peradaban agung yang mampu menciptakan keamanan dunia, menyatukan umat manusia, menciptakan kemajuan politik- ekonomi, kemajuan sains dan teknologi selama 1.400 tahun lamanya.

Peradaban ini pula yang telah mengubah kehidupan sosio-historis Arab jahiliah menjadi peradaban dunia yang mampu diterima umat manusia yang meliputi dua per tiga 3 dunia, yang telah mengalahkan Persia dan kelak menaklukkan Romawi. Hal inilah yang dideskripsikan oleh Will Durant dalam The Story of Civilizations.

Kita bisa belajar dari realitas sejarah, bahwa peradaban Alquran (baca:Islam) mampu mengubah derajat manusia dari yang hina menjadi mulia, dari yang biadab menjadi beradab, dari yang papa menjadi berada dan seterusnya. Jika demikian halnya, masihkah umat Islam ragu terhadap Alquran? Mari kita merenungi firman Allah,”Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Alquran yang kami wahyukan kepada hamba kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Alquran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar,” (QS Al–Baqarah: 23). -
Oleh : KH Syihabuddin A Muiz Direktur Pondok Pesantren Tahfizhul Qur’an Isy Karima, Karangpandan, Karanganyar
sumber: solopos

Comments

Popular Posts