Makan Bersama Rasulullah


Sesungguhnya pada diri Rasulullah terdapat suri tauladan yang baik bagi kita, maka alangkah ruginya jika kita meninggalkan atau melupakan Sunnah Rasul tersebut, yang didalamnya terkandung banyak kebaikan. Padahal kebaikan itu datangnya dengan cara mengikuti apa yang dicontohkan oleh Rasulullah dan para Sahabatnya . Dan salah satu teladan yang baik pada diri Rasulullah adalah adab beliau ketika makan.

Seringkali kita melihat kaum muslimin bersama cara-cara makan yang tidak sesuai dengan etika yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW, mungkin kerana ilmu belum sampai kepada mereka atau kerana malas dan mungkin kerana enggan melakukannya. Adapun adab-adab makan yang sering dilupakannya itu adalah sebagai berikut:

Makan berjama’ah
Berkumpul menghadapi hidangan dan makanan secara berjama’ah adalah suatu yang dianjurkan bagi kaum muslimin di samping akan mendapatkan keutamaan berdasarkan hadits berikut:

"Berjama’ahlah dalam menyantap hidanganmu dan sebut nama Allah padanya, niscaya akan mengandung berkah bagimu" (Silsilah Hadits-hadits Shahih no. 664).

Hadits ini dikhabarkan oleh Rasulullah berkenaan dengan seseorang yang datang kepadanya dan berkata:Wahai Rasulullah, kami ini setiap kali makan tidak pernah kenyang.
Maka Rasulullah berkata: Pasti masing-masing kamu makan sendiri-sendiri.
Dia menjawab: Benar ya Rasulullah.
Rasulullah berkata: Berjama’ahlah dalam menyantap makananmu


Hadits di atas memerintahkan kepada kita agar setiap kali makan supaya berkumpul melingkar pada satu nampan makanan dan tidak makan sendiri-sendiri, sebab makan sendiri-sendiri itu disamping akan membuat masing-masing orang yang makan itu tidak akan kenyang (seperti kata shahabat di atas) juga tidak mendapatkan berkah/kecukupan.

Karena kecukupan itu akan diperoleh dengan makan bersama, meskipun jumlah peserta hidangan bertambah, sebagaimana kata Nabi r:
“Makanlah berjama’ah dan jangan bercerai-berai, sesungguhnya makanan satu orang itu cukup untuk dua orang”.


“Sesungguhnya makanan satu orang itu cukup untuk dua orang makanan dua orang cukup untuk tiga atau empat orang dan makanan empat orang cukup untuk lima atau enam orang. (Silsilah hadits-hadits shahih no. 895).

Makan dengan menggunakan Shahfah/Qash’ah[1] (nampan) dan di atas hamparan.
Makan berjama’ah di atas hamparan dengan menggunakan Shahfah adalah salah satu sunnah Nabi yang harus diikuti, sedangkan makan diatas meja dengan menggunakan Sukurrajah adalah cara makan yang harus dihindari.

Anas bin Malik t berkata: “Baginda tidaklah makan diatas meja makan dan tidak pula menggunakan Sukurrajah (Diriwayatkan oleh Tirmidzi dalam Syamail, shahih Bukhari no. 5386 dalam kitab Fathul Bari 9/532).


Ibnu Hajar berkata: “Guru kami berkata dalam (Syarah at-Tirmidzi): “Sukurrajah itu tidak digunakan karena mereka (Rasulullah dan para shahabat) tidak pernah menggunakannya, sebab kebiasaan mereka makan bersama-sama (dengan Shahfa-pent) atau karena makan dengan menggunakan sukurrajah itu menjadikan mereka tidak merasa kenyang. (al-Fath 9/532).

Mengambil suapan yang jatuh.
Nabi r berkata:
“Apabila salah seorang dari kamu makan, kemudian suapannya jatuh dari tangannya, hendaklah ia membersihkan apa yang kotor darinya lalu memakannya, dan janganlah ia membiarkannya untuk (dimakan) syatan. (Silsilah hadits-hadits Shahih) no. 1404).


Hadits ini mengajarkan kepada kita agar tidak menyia-nyiakan makanan yakni dengan tidak membiarkan makanan yang jatuh untuk dimakan syaitan.
Menjilati makanan dan shahfah.
“Dan janganlah ia mengusap tangannya dengan mindil/serbet hendaklah ia menjilati tangannya, karena seseorang itu tidak mengetahui pada makanannya yang mana yang mengandung berkah untuknya, sesungguhnya setan itu selalu mengintai untuk merampas harta manusia dari segala penjuru hingga di tempat makannya. Dan janganlah ia mengangkat shohfahnya hingga menjilatinya dengan tangan, karena sesungguhnya pada akhir makanan itu mengandung berkah. (Silsilah hadits-hadits shahih no. 1404).

Berkata Imam Nawawi, tentang makna kaliamat “Pada makanannya yang mana yang diberkahi.” Ia berkata: Sesungguhnya makanan yang dihidangkan untuk manusia itu mengandung berkah, sedang dia tidak mengetahui apakah berkah itu pada makanan yang ia makan atau pada sisa makanan yang melekat di tangannya atau pada sisa makanan di dalam shahfah atau pada suapan yang jatuh. Untuk itu hendaklah ini menjaga semua itu agar selalu mendapatkan berkah. (Fathul Bari 9/578).

Mengusap makanan dengan mindil[2]
Nabi r bersabda “Janganlah mengusap tangannya dengan mindil hingga menjilati tangannya..”

Hadits ini mengisyaratkan kepada kita agar setiap selesai menjilati tangan agar mengusapnya dengan serbet, bukan dengan selainnya seperti dengan handuk atau tisue (kertas tipis). Ibnu Hajar berkata: “Hadits diatas berisi larangan bagi orang yang mempunyai serbet tapi tidak mengusap tangan dengannya dan juga berisi larangan terhadap orang yang menggunakan selainnya. (Fathul Bari 9/557).

Berkumur-kumur setelah makan
Ali bin Abdullah telah menceritakan kepada kami, Sufyan telah menceritakan kepada kami: “Aku telah mendengar Yahya bin Said dari Busyair bin Yasar dari Suwaid bin Nu’man berkata: “Kami keluar bersama Rasulullah ke Khaibar. Tatkala kami sampai di Shahba, Nabi mengundang makan, dan tidak dihidangkan makanan kecuali gandum, maka kami makan (bersama). Kemudian beliau berdiri untuk menjalankan shalat, maka beliau berkumur-kumur, dan kamipun berkumur-kumur. (HR. Bukhari no. 5445 dalam al-Fath 9/576).



[1] Qash’ah adalah piring besar untuk makan sepuluh orang sedangkan Shahfah adalah piring besar untuk makan lima orang (Syama’il Muhammadiyah, bab. Cara makan Nabi r). Adapun Sukurrajah adalah piring kecil yang biasa dipakai untuk memberi makan anak kecil.
(Fathul Bari 9/532).

[2] Mindil adalah kain yang dipakai untuk mengusap tangan selesai makan dan bukan kain yang dipakai untuk mengusap badan selesai mandi. (Fathul Bari 5/577).

Comments

Popular Posts